Tak dapat dipungkiri bahwa potensi ganja di Aceh mampu menutup defisit APBD di setiap kabupaten/kota yang memiliki ladang ganja. Ganja juga memiliki mamfaat dari sisi medis dan farmasi. Tapi, secara hukum ganja tetap dilarang dan merupakan jenis narkotika yang berbahaya.
Bercerita tentang ganja di republik ini haruslah sangat hati-hati. Indonesia mengeluarkan undang-undang tentang larangan proses produksi, distribusi sampai tahap konsumsi dari tanaman ganja. Undang-undang No. 22 1997 tentang Narkotika mengklasifikasikan ganja; biji, buah, jerami, hasil olahan atau bagian tanaman ganja termasuk damar ganja dan hasis sebagai narkotika golongan I yang berarti satu kelas dengan opium dan kokain.
Pasal 82 ayat 1 butir a UU tersebut menyatakan bahwa mengimpor, mengekspor, menawarkan untuk dijual, menyalurkan, menjual, membeli, menyerahkan, menerima, menjadi perantara dalam jual beli, atau menukar narkotika Golongan I, dipidana dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup, atau pidana penjara paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah). Hukuman yang sangat berat tapi jarang ada yang sampai proses hukuman mati. Ada pertanyaan besar yang sering membuat kita bingung dan penasaran; mengapa ganja itu dilarang padahal sangat subur tumbuh di Aceh.
Ganja itu sebuah anugerah atau musibah?. Apa sebenarnya kandungan dari ganja itu? Apa ada manfaatnya? Apakah ada negara lain yang melegalkan ganja?. Darimana asal muasal ganja?. Seorang teman saya mahasiswa S3 Pertanian di UGM pernah menyatakan keinginannya untuk meneliti ganja lebih mendalam, namun karena proses perizinan yang rumit dan risiko yang besar membuat dia berpikir kembali tentang risetnya itu. Secara historis ganja pertama kali ditemukan di Cina pada tahun 2737 SM.
Masyarakat Cina telah mengenal ganja sejak zaman batu. Mereka menggunakannya dalam kehidupan sehari-hari, sebagai bahan pakaian, obat-obatan, dan terapi penyembuhan seperti penyakit rematik, sakit perut, beri-beri hingga malaria. Cannabis juga digunakan untuk minyak lampu dan bahkan untuk upacara keagamaan. Secara esensial ganja sendiri yang pasti adalah tumbuhan liar biasa layaknya rumput yang tumbuh dimana saja. Hanya saja, ganja tidak sembarang tumbuh di tanah.
Ganja memerlukan kultur tanah yang berbeda dan cuaca wilayah yang mendukung.. Sebutan lain ganja adalah mariyuana, yang berasal dari bahasa Portugis yaitu Mariguango yang berarti barang yang memabukkan. Untuk bahasa ilmiahnya disebut Cannabis. Istilah ganja dipopulerkan oleh kaum Rastafari, kaum penganut sekte Rasta di Jamaika yang berakar dari Yahudi dan Mesir. Seiring dengan perkembangan dunia medis dan industri, negara-negara maju mulai mempertimbangkan untuk menjadikan serat ganja sebagai bahan minyak bakar karena prosesnya yang mudah dan aman dari kebakaran (mungkin cocok sebagai substitusi tanaman jarak sebagai sumber energi di Indonesia).
Karena kandungan minyaknya yang aman dan lain dari minyak olahan biasa seperti minyak kelapa sawit. Selain minyak, serat tanaman yang disebut juga hemp ini sangat bagus, keunggulan seratnya dapat mengalahkan serat kapas. Dari tanaman ini, bisa diproduksi bahan tekstil, kertas, lapisan rem dan kopling hingga untuk tali. Amerika Serikat pada Perang Dunia II sempat menggunakan serat tanaman hemp ini untuk tali kapal bagi para tentaranya, khususnya pada armada laut.
Dari sisi medis, komposisi kimia yang terkandung dalam ganja adalah Cannibanol, Cannabidinol atau THC yang terdiri dari Delta -9- THC dan Delta -8- THC. Delta -9- THC sendiri mempunyai efek mempengaruhi pola pikir otak manusia melalui cara melihat sesuatu, mendengar, dan mempengaruhi suasana hati pemakainya. Selain Delta -9- THC, ada 61 unsur kimia lagi yang sejenis dan lebih 400 bahan kimia lainnya yang beracun. Delta -9- THC diyakini para ilmuwan medis mampu mengobati berbagai penyakit, seperti daun dan biji, untuk membantu penyembuhan penyakit tumor dan kanker.
Akar dan batangnya bisa dibuat menjadi jamu yang mampu menyembuhkan penyakit kejang perut (kram), disentri, anthrax, asma, keracunan darah, batuk, diare, luka bakar, bronchitis, dan lain-lain. Dalam dunia kedokteran, bahan kimia pada ganja mempunyai sifat-sifat yang membantu penyembuhan penyakit dalam tubuh, seperti tonic (penguat), analgesic, stomachic dan antispasmodic (penghilang rasa sakit), sedative dan anodyne (penenang), serta intoxicant (racun keras).
Di Inggris terdapat sebuah lembaga Marijuana Center, lembaga yang melakukan penelitian tanaman ini secara medis dan farmasi. Hasilnya, mariyuana tetap diandalkan dan menjadi obat yang ampuh. Seperti pasien yang lumpuh, ketika menjalani terapi dengan mariyuana bisa sembuh, dapat berjalan kembali layaknya orang normal, tidak impoten, dan mempunyai daya ingat yang tinggi.
Di Kanada, pihak pemerintah berencana melegalisasikan ganja dan bentuk obat-obatan dan kebutuhan farmasi lainnya. Pemerintah Kanada mulai mengijinkan pembelian ganja dengan resep dokter di apotek-apotek lokal. Satu ons dijual sekitar $113 dan ganja dikirim melalui kurir ke pasien atau dokter mereka. Telah banyak pasien yang melaporkan bahwa ganja mengurangi rasa mual pada penderita AIDS dan penyakit lainnya. Hal ini yang mendukung pemerintah untuk semakin memantapkan pelegalisasian ganja.
Ganja Aceh
Membicarakan ganja tidak akan lepas dari Aceh. Provinsi ini terkenal dengan tanaman ganja yang hampir tersebar di seluruh hutan-hutan lebat di Aceh. Bahkan Aceh diisukan menjadi ladang ganja terbesar di Asia Tenggara, selain Thailand. Orang Aceh telah menggunakan ganja dari dulu sebagai ramuan makanan dan bumbu masak.
Namun saat ini jarang ditemui masakan Aceh yang memakai bahan ganja untuk ramuan masakan, Kondisi geografis Aceh yang mendukung, tanah yang subur, hujan yang teratur, dan posisi pegunungan dengan iklim yang relative stabil membuat ganja mampu tumbuh subur. Di hutan-hutan Aceh, tersebar hampir ribuan hektar ladang ganja. Dari Kabupaten Bireuen, Aceh Besar, Aceh Tenggara, Aceh Barat Daya, Aceh Tengah, dan Aceh Utara.
Dalam satu bulan saja, aparat kepolisian bisa menemukan ratusan hektar ganja, seperti di Peudada (Bireuen), Lamteuba (Aceh Besar), Kutacane (Aceh Tenggara), dan Blang Pidie (Aceh Barat Daya). Padahal dalam satu bulan tersebut, operasi dilakuan oleh aparat itu belum maksimal, karena medan yang harus dilalui sangat berat, disamping tidak adanya informasi ladang-ladang lainnya yang masih tersebar luas. Kabupaten Bireuen disinyalir mempunyai ladang ganja terluas di Aceh. Diperkirakan ada 44 titik ladang ganja yang tersebar di enam lokasi di lima kecamatan.
Dalam satu kali operasi di Bireuen saja aparat bisa menemukan 20-90 hektar ladang ganja. Bayangkan jika biasanya satu hektar ladang ganja akan menghasilkan 100 kilogram ganja siap pakai dengan harga lokal Rp. 200 ribu per kilogram maka sekali panen bisa menghasilkan omzet Rp. 20 juta. Jika sampai di Medan dan sekitarnya harga ganja sudah melambung mencapai Rp. 700 ribu per kilogram. Di Jakarta dan kota-kota lainnya di Jawa, harga ganja untuk partai besar mencapai Rp. 2 juta per kilogram atau Rp. 200 juta per hektar. Harga eceran justru lebih tinggi lagi yakni melonjak sampai Rp. 3,5 juta.
Walau belum ada data faktual, katakanlah jumlah total ladang ganja di Aceh ada 1000 hektar (100 ribu kilogram ganja) dengan asumsi setahun bisa tiga kali panen dengan harga Rp. 3,5 juta per kilogram, maka setiap kali panen omzet per tahun dari tanaman ganja adalah 100 ribu kg x 3,5 juta x 3 = Rp 1,05 triliun per tahun. Sangat fantastis, hampir sepertiga dari jumlah APBD Provinsi Aceh tiap tahunnya.
Bayangkan jika hasil tanaman ini di ekspor, perbedaan kurs akan menghasilkan potensi keuntungan yang berlipat, apalagi ganja Aceh mendapat pengakuan telah mencapai standar kualitas dunia. Banyak negara melegalkan ekspor-impor ganja, seperti Swiss dan Belanda yang sering menjadi pasar gelap ganja internasional. Hal ini sangat menggiurkan bagi sebagian orang yang berpikiran pendek untuk mau terlibat dalam transaksi ganja.
Mulai dari pelajar, ibu rumah tangga sampai pejabat pun mau menjadi kurir ganja. Tekanan hidup dan ingin cepat kaya menjadi motivasi utama dalam kegiatan ilegal ini. Jakarta menjadi kota terbesar dalam pemasaran narkoba. Ganja, hasish, shabu, putaw, heroin, kokain, exstasi, hingga acid akan mudah didapat bila sudah masuk dalam ruang lingkup narkoba.
Namun menurut penelitian yang dilakukan oleh Badan Narkotika Nasional (BNN) pada tahun 2005 disebutkan bahwa prevalensi penyalahgunaan narkoba pada laki-laki menempatkan Jakarta pada posisi ketiga dengan 11,4 % di bawah Medan dan Bandung. Yogjakarta berada pada urutan ke empat dengan 8,5 %. Ketua Pelaksana Harian BNN, Komjen Makbul Padmanegara, mengatakan peredaran narkoba sudah sampai keseluruh wilayah di Indonesia. Dari 200 juta penduduk Indonesia, 1 % atau 2 juta diantaranya positif mengkonsumsi narkoba.
Potensi atau Proteksi
Tak dapat dipungkiri bahwa potensi ganja di Aceh mampu menutup defisit APBD di setiap kabupaten/kota yang memiliki ladang ganja, namun secara hukum ganja tetap dilarang dan merupakan jenis narkotika yang berbahaya. Eksistensi ganja di Aceh tentu ada pengaruh kausalitas, tidak mungkin ganja tumbuh subur di Aceh jika tidak memiliki makna apa-apa.
Penelitian menunjukkan ganja juga memiliki manfaat dari sisi medis dan dan farmasi. Mungkinkah kita melihat manfaat dari kesuburan tanaman ini di negeri kita?. Bisakah suatu saat Aceh bisa mengekspor ganja?. Kita tidak tahu, yang jelas Afghanistan mampu mengekspor opium--bahan dasar heroin-- dan menjadi penyumbang 92% dari total ekspor dunia dengan konsekuensi 1,4% warga negaranya kecanduan opium.
Bolivia, Peru, Ekuador dan Kolombia adalah negara-negara pemasok koka--bahan dasar kokain-- terbesar didunia. Dan terbukti produksi opium dan koka di negara-negara tersebut mampu mendorong pertumbuhan ekonomi negara.
Apa salahnya dikaji ulang ya gan... Di luar negeri penggunaan ganja ternyata dibedakan, yaitu terdiri dari Ganja untuk pengunaan terlarang dikenal sebagai Cannabis, sedangkan untuk penggunaan industri dikenal dengan istilah Hemp. Sementara di Indonesia tidak mengenal perbedaan ini, seperti yang tercantum dalam Undang-Undang bahwa ganja termasuk sebagai narkotika... kenyataan ganja masuk golongan sikotropika, jenis herbal dan bukan hasil dari vermentasi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar